Bersama Kita Bisa... Kita Bisa Karena Kita Ada... Kita Ada Karena Kita Juara...

Bersama Kita Bisa... Kita Bisa Karena Kita Ada... Kita Ada Karena Kita Juara...

Rabu, 15 Desember 2010

KENAPA SIH HARUS HALAQOH?

Rabu, 15 Desember 2010
Oleh: Deddy Sussantho


Hidup ini berlalu sangat singkat dan dipenuhi banyak pilihan. Maka akan sangat rugi manakala hidup yang sangat singkat ini kita jalani dengan pilihan-pilihan yang salah; Pilihan untuk menjadi nakal, gagal, jauh dari Allah SWT, tidak berbakti pada orang tua, dan lain sebagainya.

Setiap pilihan tentu memiliki konsekuensi dan tanggung jawab. Ketika memilih menjadi orang Islam, maka konsekuensinya adalah menjalankan Islam secara kaffah (keseluruhan) dengan balutan ketakwaan.[1] Namun pada kenyataannya, dalam keseharian terdapat fenomena Islam KTP, yang mana mengaku sebagai orang Islam, tapi perangainya tak menunjukkan akan hal itu. Buktinya adalah masih seringnya meninggalkan sholat, tidak mau berzakat, gemar maksiat, dan lebih memilih jalan-jalan yang sesat.

Pertanyaannya, apakah mereka salah? Belum tentu. Bisa jadi mereka berbuat demikian lantaran belum tahu atau belum paham betul terhadap hukum-hukum Allah SWT, belum tahu betapa indahnya Islam, serta belum tahu betapa mahalnya iman. Untuk itu, yang mereka butuhkan adalah sarana penunjang pengetahuan-pengetahuan akan agama. Mereka butuh sarana tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam), yang menjembatani mereka yang semula tidak tahu agar menjadi tahu.


Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sudah tahu, namun bertindak seolah dia tidak tahu? Inilah yang tidak dapat dibenarkan. Ibarat STMJ, Sholat Terus Maksiat Jalan, alias punya ilmu agama, tapi tidak mengamalkannya. Ini sama saja dengan bunuh diri. Kenapa? Karena dia sengaja menceburkan diri pada kubangan kehinaan. Dia membiarkan hatinya mati begitu saja atas akumulasi kemaksiatan yang dia lakukan.[2]

Ingatlah, kondisi hati ada tiga: sehat, sakit, dan mati. Ketika hati sehat, kita dengan tegas dan mudah membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Namun jika hati yang sehat ini tidak dijaga kesehatannya, ia akan menjadi sakit, yang mana tidak tegas mengatakan yang baik atau salah, atau bahkan melihat kebenaran dari aspek ”yang penting enak di gue”. Yang lebih parah, ketika sudah sakit, tapi tidak diobati. Alhasil, penyakit hati sudah mencapai puncaknya, sehingga hati menjadi mati. Hati yang mati adalah kebalikan dari hati yang sehat. Ia mengatakan yang salah itu benar, sedangkan yang benar itu salah. Naudzubillah…

Ya, sekali lagi itu soal hidayah. Lantas, apakah kita dapat menepis segala keburukan diri dengan alasan belum dapat hidayah? Jelas ini bukan perkara yang bijak.

Hidayah itu bukan ditunggu, tetapi ia dicari dan diminta. Perlu adanya sikap proaktif untuk mendapat hidayah Allah SWT. Pada dasarnya, Allah SWT memberi hidayah kepada semua hamba-Nya. Ada yang tersaji di alam, di tubuh kita, di pikiran kita yang mendalam, di hati kita, atau bahkan ajakan-ajakan kebaikan dari orang-orang sekitar.

Tak ada manusia yang luput dari hidayah Allah SWT. Sebelum tiba di dunia, kita ditanya oleh Allah, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Lantas ruh kita menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”[3] Bahkan, ketika lahir pun, kita sama-sama tidak tahu apa-apa dan juga sama-sama diberi potensi yang sama: penglihatan, pendengaran, dan hati.[4] Manakala ketiga potensi itu kita gunakan untuk membaca tanda-tanda kebesaran Allah SWT, maka niscaya keimanan dalam diri kita pun akan tersulut dan kita akan tunduk kepada Allah SWT. Secara empirik, hal ini pun telah dicontohkan Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad dalam pencariannya yang merujuk kepada Yang Maha Esa, Allah SWT.

Hidayah itu perlu dicari. Bagaimana mencarinya? Adalah dengantarbiyah islamiyah.  Dengan tarbiyah, pikiran seseorang akan terbuka, hatinya akan terketuk, dan dirinya akan termotivasi untuk menjadi sosok seorang Muslim yang baik. Hal ini berangkat dari kewajiban seorang Muslim/ah untuk senantiasa menuntut ilmu (terutama ilmu agama).[5] Karena dengan ilmu agama, seseorang akan mendapat banyak kebaikan-kebaikan yang dapat menuntunnya menuju Allah SWT.[6] Dengan begitu terbentuknya syakhsiyah Islamiyah(kepribadian Muslim) sudah tentu menjadi sebuah keniscayaan.

Memiliki syakhsiyah islamiyah bukanlah perihal bisa atau tidak, melainkan mau atau tidak. Mengapa? Sekali lagi, ini adalah pilihan. Allah SWT tidak akan mengubah keadaan kita, sebelum kita sungguh-sungguh mengubahnya.[7] Di sisi lain, segala keburukan diri kita pada dasarnya adalah buah atas pilihan-pilihan kita sendiri.[8] Ibarat telepon genggam, sinyal hidayah Allah SWT sudah begitu kuat dengan jangkauan tak terbatas, hanya saja terkadang sinyal keimanan hamba-Nya lemah dan terbatas, sehingga kurang dapat menangkap dan memaknai hidayah tersebut. Maka tak berlebihan jika ada orang yang sadar dapat hidayah dan berakhir pada ketakwaan, atau ada pula sebaliknya.

Semua akan kembali pada bagaimana cara kita melihat tanda-tanda hidayah Allah SWT. Ibarat melihat tembok, seputih apa pun tembok tersebut, tapi kalau mata kita terdapat kacamata hitam, maka tembok itu akan tetap terlihat gelap. Lantas bagaimana bisa terdapat perbedaan sudut pandang dalam menangkap hidayah, sementara Allah SWT memberikan potensi yang sama?

Ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal yang memiliki andil besar dalam perubahan diri manusia, yakni lingkungan. Keluarga, sekolah, tetangga, dan segala dimensi budaya-sosial yang terkait di sekitar kita berperan besar dalam membentuk diri kita, mulai cara berpikir, hingga cara hidup. Seperti yang kerap digambarkan, manakala kita bergaul dengan tukang parfum, maka kita akan tertular wanginya; jika kita bergaul dengan tukang pandai besi, maka kita akan terkena panas baranya.

Hidayah itu mahal. Tidak semua orang dapat menyadarinya. Kenyataan ini ditambah dengan fakta bahwa keimanan pun dapat naik dan turun. Maka sudah tentu setelah mendapat hidayah kita berupaya menjaganya. Bagaimana? Dengan mencari lingkungan yang kondusif, yaitu dengan berkumpul dengan orang-orang yang sholeh, yang mana menjadi penopang diri kita tatkala sedang lemah. Jadi kalau keimanan kita sedang turun, ada orang-orang yang senantiasa mengingatkan, mengajak, serta membawa kita kepada Allah SWT. Selain itu tercipta kondisi fastabiqul khoirats (berlomba dalam kebaikan) yang dapat memotivasi kita untuk lebih baik di mata Allah SWT.

Boleh jadi Allah SWT memberikan kita potensi dan hidayah yang sama, namun karena lingkungan di sekitar kita yang tidak kondusif, yang tidak mengajak kepada Allah SWT, maka perbedaan kepemahaman menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan, Rasulullah SAW pun pernah menerangkan betapa lingkungan dapat membentuk aqidah seseorang.[9] Maka dari itu, menjaga hidayah menjadi soal internal sekaligus eksternal seseorang yang saling berkaitan.

Kalau ada pertanyaan, loyalitas kepada Allah SWT itu ditumbuhkan atau memang sudah ada dalam diri manusia? Maka saya lebih memilih keduanya menjadi jawaban yang utuh. Artinya, loyalitas (atau dalam konteks ini dapat kita sebut sebagai kesadaran beragama) seseorang kepada Allah SWT memang sudah ada sebelumnya dan juga perlu ditumbuhkan.

Buktinya, sehebat apa pun program pesantren dalam mendidik santrinya memahami agama, tapi kalau santi tersebut tidak terpanggil hatinya, maka akan percuma. Hasilnya, boleh jadi kepemahaman agamanya bagus, tapi secara aplikatif tidak melekat pada dirinya. Sebaliknya, sebakat apa pun seseorang dalam memahami agama, namun jika tidak ada program-program yang dapat menuntunnya memahami agama, maka bakatnya itu akan sia-sia.

Melihat itu, kita membutuhkan sarana tarbiyah yang efektif, yang dapat membuka pikiran, mengetuk hati, dan memotivasi diri untuk menjadi sosok seorang Muslim yang baik. Salah satu sarana efektif tersebut adalah halaqoh.

Halaqoh, atau yang biasa disebut dengan mentoring atau liqo’ ini adalah sarana tarbiyah islamiyah yang berbentuk pengajian kelompok pekanan yang berisikan sekitar 10 orang. Di dalamnya terdapat seorang Murobbi (pembina) yang berfungsi sebagai ayah, pemimpin, guru, sekaligus sahabat bagi para mad’unya (objek dakwahnya). Pada kegiatan halaqoh, mad’u selalu dipantau perkembangannya oleh  Murobbi, sehingga dapat diketahui sejauh mana kepemahamannya. Materi pun disusun sedemikian rupa agar runut dan sistematis, sehingga proses tarbiyah islamiyah tidak terkesan monoton dan stagnan. Marhalah (tingkatan) materi perlu disesuaikan dengan kualitas para mad’u itu sendiri. Hal ini agar tidak terjadi salah interpretasi dan penyimpangan kepemahaman pada fikroh (pemikiran) para mad’u.

Bagaimana kedudukan eksistensi halaqoh? Dalam Islam, jika suatu perkara wajib membutuhkan sarana, maka keberadaan sarana tersebut menjadi wajib adanya. Seperti sholat dan wudhu, keberadaan wudhu menjadi adalah wajib karena sholat memiliki syarat bebas dari hadas (suci). Sebelumnya, telah disinggung bahwa menuntut ilmu itu wajib, maka keberadaan halaqoh sebagai sarana tarbiyah islamiyah menjadi wajib pula.

Halaqoh merupakan salah satu sarana tarbiyah islamiyah. Tidak menutup kemungkinan terdapat sarana-sarana lain dalam tarbiyah. Pun begitu, bukan masalah mana yang paling efektif, karena setiap sarana adalah satu kesatuan yang menunjang proses tarbiyah diri kita menuju lebih baik. Yang terpenting adalah diri kita tak pernah lepas dari lingkungan tarbiyah islamiyah.

Nah, saudaraku, apa yang saya kemukakan sejauh ini akan kembali pada diri kita masing-masing. Sekali lagi, ini adalah pilihan. Saya berharap kalian dapat memilih dengan benar, manakala pada kalian tersaji kesempatan untuk halaqoh, karena ia merupakan sarana atau jembatan yang dapat membawa kita pada kesadaran terhadap indahnya Islam dan manisnya iman dalam balutan ukhuwah islamiyah. Ibarat telepon genggam, halaqoh adalah charger bagi keimanan dan motivasi kita untuk menjadi lebih baik.
Kelak, semoga kita dapat saling mengingatkan, menguatkan, dan mendoakan agar masing-masing dari kita senantiasa berada dalam keistiqomahan kepada Allah SWT.


Allahumma Aamiin… Allahua’lam bishowab… Semoga bermanfaat.

[Limo, 30 November 2010]

[1] Lihat QS. Al-Baqoroh (2): 208 dan QS. Al-‘imron (3): 102
[2] Seorang Mukmin jika berbuat satu dosa, maka ternodalah hatinya dengan satu noktah (titik) warna hitam. Jika dia bertobat dan beristighfar, hatinya akan kembali putih bersih. Jika ditambah dengan dosa lain, noktah itu pun bertambah hingga menutupi hatinya. Itulah karat yang disebut-sebut Allah dalam ayat, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang mereka usahakan itu menutup hati mereka.“ [HR. Tirmidzi]. Lihat pula QS. Al-Muthaffifiin (83): 14
[3] Lihat QS. Al-A’raaf (7): 172
[4] Lihat QS. An-Nahl (12): 78
[5] Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah). [HR. Ibnu Majah]
[6] Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan memberikan pemahaman yang dalam terhadap agamanya. [HR. Bukhari dan Muslim]
[7] Lihat QS. Ar-Ra’du (13): 11
[8] Lihat QS. Yunus (10): 44
[9] Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). [HR. Bukhari]

0 komentar:

Posting Komentar