Bersama Kita Bisa... Kita Bisa Karena Kita Ada... Kita Ada Karena Kita Juara...

Bersama Kita Bisa... Kita Bisa Karena Kita Ada... Kita Ada Karena Kita Juara...

Rabu, 27 Januari 2010

Siklus Stagnan

Rabu, 27 Januari 2010

Oleh: Deddy Sussantho*

“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” [Q.S. ar-Ra’d (13): 11]

Kita bukannya tak bisa, tapi kita tak sempat.
Kita bukannya tak sempat, tapi kita tak mau.
Kita bukannya tak mau, tapi kita tak tahu.
Kita bukannya tak tahu, tapi kita tak peduli.
Kita bukannya tak peduli, tapi kita tak bisa.

Setuju dengan siklus yang saya buat ini? Itulah siklus stagnan.
Siklus ini sering kali kita temui, hadapi, dan kita jalani tanpa kita sadari. Di saat ada sebuah amanah atau apa pun yang membutuhkan kontribusi kita, saat itu pula timbul kecenderungan untuk lepas tangan dari itu semua. Menghindar dari sebuah pekerjaan yang membutuhkan keikhlasan, ksabaran, dan keistiqomahan. Kala itu berjuta alasan lahir seakan tanpa dipikir. Atau bisa juga dipikir dahulu, barulah lahir sebuah alasan. Sebuah fenomena yang menggelitik. Pun begitu dengan dakwah.


Teringat suatu siang di kampus. Didapati seorang ikhwan duduk manis menanti teman-temannya dengan bertemankan hijab, papan tulis yang masih belum tergores tinta sedikit pun, dan juga beberapa kertas yang akan digunakannya dalam syuro. Ia duduk diam. Tidak macam-macam. Setelah ditanya, rupanya ia ketua acara. Ia mengaku akan mengadakan syuro. Namun
sudah hampir dua jam tak ada satu pun temannya yang datang, baik ikhwan maupun akhwat. Akhirnya, syuro itu pun batal.
Lalu mengingat di sekolah menengah. Terdapat seorang aktivis dakwah sekolah tengah kehilangan ghirohnya setelah merasakan bahwa Rohis yang ia kenal sekarang tidak seindah Rohis yang dahulu. Suasana indahnya dakwah tak lagi ia rasakan lantaran teman-temannya terbang tenggelam entah ke mana. Meninggalkan ia sendiri dalam perjuangan dakwah sekolah.

Kemudian di sekolah lanjutan. Bergulirnya waktu semakin membuat jelas perbedaan signifikan jumlah kader Rohis di sana. Tak lebih dari 10 mad’u. Tentu saja hal tersebut tidak lebih baik dari tahun lalu. Sebabnya mudah, SDM yang siap berdakwah di sana sangatlah minim, hanya dua orang. Terlebih banyaknya amanah lain dari kedua orang tersebut membuat mereka menjadi tidak fokus pada dakwah di sana.

Tak tertepis, memang dewasa ini penurunan SDM dalam dakwah kerap terjadi di sana-sini. Baik di jajaran Universitas, SMU, di SMP, atau bahkan mungkin di tempat-tempat lainnya. Padahal jika mendengar perjuangan dakwah beberapa tahun lalu yang diceritakan oleh para senior, hati ini ikut memanas karena tersulut api semangat. Namun nyatanya… semangat tersebut tak lebih dari sebuah dongeng sebelum tidur. Di mana mungkin ada sedikit penambahan kalimat di akhir cerita tatkala mereka ditanya perihal komitmen dalam dakwah:

”’Afwan… Sekarang ini bukan masanya kami lagi. Masih ada antum kan yang masih muda.“

“’Afwan… Ana sudah cukup sibuk dengan amanah-amanah yang lain. Dakwah di sini ana percayakan sama antum ya! Semangat!”

”’Afwan… Ana gak cukup kopeten. Apa jadinya klo ana pegang liqo, bisa-bisa pada futur semua anak-anaknya. Haha…“

Ya,“‘afwan”. Satu kata namun menyimpan banyak makna.

The Kertas Buram - Siklus Stagnan
Apakah dakwah ini bisa dijalankan sendiri-sendiri? Sebagian jawabannya adalah iya. Iya di sini mengacu pada kewajiban setiap muslim untuk menyeru dalam kebaikan, melalui dakwah fardiyah. Namun jawabannya menjadi tidak, apabila kita melihat dari sisi dakwah jama’i. Memang hukum dakwah jama’i adalah fardu kifayah. Tidak seperti dakwah fardiyah yang fardu ‘ain. Namun janganlah karena fardu kifayah lantas kita bisa menyerahkannya pada orang lain begitu saja. Tanpa adanya usaha maksimal yang kita lakukan. Dakwah jama’i akan lebih efektif apabila dilalukan secara terorganisir dan secara jama’i pula.

Sahabat Rosulullah, Ali bin Abi Thalib, berkata, “kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”. Ada pula filosofi sapu lidi, di mana sapu lidi tidak akan kuat dan efektif membersihkan apabila hanya terdapat satu atau dua batang lidi.

Kini bukanlah saat di mana mata harus tertutup, telinga terkatup, dan hati mengecut. Kini adalah saat diperlukannya gerakan! Perlu adanya action! Perlu adanya harokah! Allah SWT telah mengingatkan kita pada surat at-Taubah ayat 105:

“Dan katakanlah: “beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu amalkan”.”
Sedangkan pada surat yang sama di ayat 41 pun Allah SWT berfirman:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Mari kita saling mengingatkan. Agar manusia tahu dan sadar, karena manusia tidak akan lepas dari kesalahan yang ditimbulkan dari ketidaksempurnaannya.
Mari kita membuka hati dan pikiran. Agar kita mudah untuk diingatkan, sehingga kita mengerti, tersadar, dan peduli terhadap jalan dakwah ini.

Bila bukan kita, lantas siapa?

Bayangkan bila di bumi ini ada satu juta orang. Namun satu juta orang iti berpikiran sama, “Biarkan dakwah ini dijalankan oleh yang lain. Aku merasa belum pantas melakukan dakwah ini. Biarlah aku membantu dengan doa agar dakwah yang mereka lakukan dapat sukses.” Lantas apa yang terjadi?

Contoh tadi sama halnya dengan pengendara kendaraan yang berpikiran, “Ah, aku lewat jalan A saja, karena aku tahu jalan B pasti macet sekali.” Namun sayang, banyak pengendara kendaraan lainnya yang berpikiran sama. Alhasil jalan A macet, sedangkan jalan B lengang.

Begitu pula dengan dakwah. Tanpa adanya kordinasi yang jelas dan saling melimpahkan amanah atau kurangnya kesadaran dan kepedulian inilah yang membuat siklus stagnan ini terus bertahan.
Pastilah kejenuhan itu pasti ada. Karena dakwah ini memang dibutuhkan keikhlasan, kesabaran, dan keistiqomahan. Namun jangan sampai kejenuhan itu berlarut. Ingatlah janji Allah dalam surat At-Taubah ayat 111:

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Semangat saudaraku! Hancurkan siklus stagnan ini! Fastabiqul Khairots
Allahu’alam bi showab…

[Limo, 1 Juli 2009  dan diperbaharui 27 Desember 2009]

*Penulis adalah salah satu anggota BPH Komda Uswah periode 2009-2010 
http://www.bukanorangsuci.co.cc

0 komentar:

Posting Komentar