Bersama Kita Bisa... Kita Bisa Karena Kita Ada... Kita Ada Karena Kita Juara...

Bersama Kita Bisa... Kita Bisa Karena Kita Ada... Kita Ada Karena Kita Juara...

Rabu, 16 Juni 2010

MATA AIR KEBAHAGIAAN

Rabu, 16 Juni 2010
Oleh: Deddy Sussantho

“Apa itu kebahagiaan?”

Pertanyaan itulah yang membuat orang itu mencari seorang guru. Ia sangat ingin tahu jawaban atas pertanyaan yang muncul di benaknya itu. Padahal, bisa dibilang apa yang menjadi impiannya sudah ia dapatkan. Namun rumah besar, mobil mewah, isteri yang cantik, kekayaan yang melimpah, dan segala yang dimilikinya saat ini masih belum mampu membantu menjawab pertanyaan yang satu itu.

Pada akhirnya, bertemulah orang itu dengan seorang sufi. Dengan penjelasan panjang lebar, akhirnya orang itu diterima sebagai murid orang sufi tersebut. Tanpa basa-basi lagi, orang itu kembali bertanya, “Apa itu kebahagiaan?”

Orang sufi tidak langsung menjawab. Anehnya, ia malah menyuruh orang itu membuat danau yang jernih. Ia berjanji kepada orang itu akan memberi jawabannya apabila orang itu mampu membuatnya.




Maka dengan sangat penasaran, orang itu pergi ke hutan untuk membuat danau. Ia merencanakan akan membuat danau seluas lapangan sepak bola dengan kedalaman satu meter. Untuk itu, ia mulai menggali, menakar, dan menghubungi danaunya sehingga terciptalah danau yang indah. Danau itu juga diairi oleh seluruh mata air yang ada di hutan, sehingga jadilah danau yang jernih.

Merasa puas dengan kerjanya, dengan semangat orang itu memanggil gurunya. Ia merasa waktunya selama dua tahun tidaklah sia-sia. Danaunya begitu jernih. Namun ketika gurunya sedang dalam perjalanan ke danau, tiba-tiba hujan turun. Dengan begitu seluruh saluran mata air di hutan itu menjadi keruh dan membuat danau turut keruh. Alhasil, gurunya tidak mendapatkan danau yang jernih.

Sesuai perjanjian, gurunya belum dapat memberi tahu jawaban pertanyaannya sebelum orang itu berhasil membuat danau yang jernih. Maka orang itu diberi waktu untuk kembali membuat danau itu menjadi jernih.

Dua tahun kembali bergulir. Selama itu, orang itu telah menutup seluruh mata air dengan sistem penyaringan yang ia buat, sehingga danau akan tetap jernih meskipun hujan datang. Sekali lagi, jadilah sebuah danau yang jernih. Dengan mantap, kembali ia memanggil gurunya.

Dan benar, kali ini gurunya benar-benar mendapatkan danau dengan air yang jernih. Ada sedikit rasa puas di hati orang itu. Namun ia perhatikan, gurunya melihat-lihat sambil mengelilingi danau. Tiba-tiba, gurunya mengambil sebilah tongkat dan mengaduk-aduk dasar danau. Maka jadilah kembali keruh danau itu.

”Maaf, saya masih belum dapat memberi tahu jawabannya.”

Jawab singkat gurunya seraya berlalu, memberi waktu orang itu untuk membuat danau yang benar-benar jernih.

Mengetahui usahanya sia-sia, orang itu begitu kesal. Bayangkan, empat tahun telah ia habiskan hanya untuk membuat danau yang jernih. Hanya untuk mendapat jawaban, “Apa itu kebahagiaan?” Namun hingga saat ini, usahanya terasa sia-sia sudah. Karena kesal, ia gali danaunya dengan sekuat tenaga. Ia gali sampai tenaga dan rasa kesalnya habis, hingga tanpa disadari, galiannya telah mencapai titik di mana ditemukannya sumber mata air yang memancar dari dasar danaunya.

Sumber mata air itu begitu jernih dan terus memancar keluar sehingga mendorong segala kotoran keluar dari danau. Ia perhatikan dengan seksama danaunya kini, setiap hujan, atau setiap kali ada kotoran di permukaan danau, tak perlu waktu lama untuk danau itu kembali jernih. Semua kotoran tersapu oleh mata air danau yang terus saja memancar keluar. Sekarang ia benar-benar memiliki danau yang jernih. Danau yang selalu jernih lantaran memiliki sumber mata airnya sendiri.

Sebentar kemudian, senyum mengembang di bibir orang itu. Ia sangat gembira dan memutuskan memanggil gurunya.

Sebentar kemudian gurunya datang dan ikut tersenyum. “Sadarkah kau sudah menemukan jawaban atas pertanyaanmu sendiri?” Jawab gurunya singkat.

(Adaptasi dari paparan kisah Tere Liye kala Bedah Buku ”Hafalan Sholat Delisa” di UIN Jakarta)


***
Kisah tersebut saya dapatkan dari pemaparan Tere Liye, penulis Novel, yang saat itu sedang mengisi acara bedah buku ”Hafalan sholat Delisa” yang merupakan salah satu dari serangkaian acara Milad ke-14 Lembaga Dakwah Kampus UIN Jakarta. Kisah tersebut ia suguhkan sebagai closing statement di akhir acara.

Dari kisah di atas, setidaknya ada dua poin yang sangat menarik. Pertama, kebahagiaan tidak datang dari luar diri, tetapi berasal dari dalam hati. Sedangkan hanya Allah SWT-lah yang mampu membolak-balik hati para hamba-Nya (QS. 8:63). Itu sebabnya ketika menjalani hidup, hendaknya kita paham betul tujuan atau hakikat sebenarnya hidup kita (QS. 2:30 ; 51:56). Sehingga apa pun kondisinya, kita senantiasa bahagia.

Bila dalam hidup ini kenikmatan dunia (kekayaan, kecantikan, kekuasaan, dll) menjadi tujuan utama untuk mencapai kebahagiaan, maka bila kenikmatan itu hilang, habislah pula kebahagiaan. Layaknya danau yang menjadi keruh akibat mata air yang semula jernih menjadi keruh. Namun berbeda halnya apabila Allah SWT yang Maha Kekal menjadi tujuan kita. Di mana setiap aspek kehidupan kita ditujukan untuk menggapai ridho-Nya, maka baik kita dalam keadaan kaya, miskin, sehat, sakit, atau apa pun kondisi kita, kita akan tetap merasa bahagia. Merasa cukuplah untuk menjadi kaya, bukan menjadi kaya untuk menjadi cukup.
Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” [QS. Ar-Ra’du: 29]

Kedua, tidak semua hati itu terbuka. Ada orang yang memiliki hati yang lapang, sehingga mudah mendapat hidayah (petunjuk) Allah SWT. Juga sebaliknya, ada pula orang yang berhati sempit sehingga sering melahirkan sifat-sifat jelek dan jauh dari hidayah. Layaknya danau dalam kisah di atas, perlu digali dulu, bahkan bertahun-tahun barulah terbuka dan akhirnya memiliki sumber mata airnya sendiri yang membersihkan isi danau itu dari segala kotoran. Maka itu, jangan biarkan dalam hati kita ada penyakit-penyakit hati (sombong, riya, iri, dengki, dll) yang dapat menutupi diri dari rasa syukur, ikhlas, dan sabar terhadap ketentuan Allah SWT.

Rosulullah SAW bersabda, “Dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” [HR. Bukhari]

Mari gali hati kita untuk menjadi lebih lapang dan bijak, serta jangan biarkan hati kita kering di antara derasnya hidayah-Nya yang melimpah. Semoga Allah SWT senantiasa menuntun hati kita. Semata agar kuat terjaga.

Allahua’lam.

Semoga bermanfaat.

[Limo, 1 Juni 2010]

0 komentar:

Posting Komentar